Hermeneutika Dalam Perspektif Islam

Agama yang kita anut, dan dianut oleh ratusan juta kaum muslimin yaitu Islam, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat. Dan didalam Islam mempunyai satu esensial yang berfungsi memberi petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman dalam Al Quran. ”Sesungguhnya Al Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya”.[1]

Tiap-tiap agama di permukaan bumi ini, mempunyai landasan dan pedoman bagi masing-masing penganut agama, yang termaktub dalam kita-kitab yang suci dan sakral. Nasrani dengan Injilnya, orang hindu dengan kitab Wedhanya, orang Islam dengan Al Qurannya, dan lain sebagainya. Masing-masing kitab mempunyai metode dan aturan tersendiri dalam memahami teks kitab tersebut. Metode semacam ini tidak boleh dicampur adukkan atau dikolaborasikan dengan satu kitab dengan yang lainnya, karenanya akan menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih dalam memahami teks suatu kitab.

Saat ini kita melihat adanya sekelompok golongan yang gencar-gencarnya ingin merubah dan mengganti metodologi dalam memahami teks Al Quran dengan metodologi yang lain. Interpretasi Al Quran yang dilakukan oleh ulama ulama salaf dianggap tidak relevan lagi dijadikan rujukan, mereka mengadopsi metodologi hasil impor buatan barat, dan meyakininya sebagai alat yang bisa mengembangkan pola pikir umat Islam dalam memahami teks Al Quran, itulah yang kita kenal dengan metodologi hermeneutika.

Disini penulis akan mencoba memaparkan secara global tentang hermeneutika ditinjau dari segi penamaannya, historisnya, perbedaan antara tafsir dan hermeneutika serta hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan ini.

Pengertian dan Histori Hermeneutika

Hermeneutika secara etimologi diambil dari perkataan inggris hermeneutics, yang berasal dari bahasa Greek, yaitu hermeneutikos atau hermeneuien yang artinya “tafsir” atau menafsirkan, yang biasanya digunakan dalam menafsirkan teks sakral.

Sedangkan hermeneutika menurut terminology, bermakna didalam apa yang tersirat ( in the verbum interius), atau terkandung dalam makna yang tersirat (inner speech). Atau dalam defenisi umumnya, adalah suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna (hermeneutics as method, philosophy and critique), juga bermakna sebagai seni menafsirkan (the art of interpretation).[2] Jadi memahami dan menginterpretasikan apa yang ada dalam pikiran seseorang itulah yang disebut hermeneutika.

Adapun yang melatar belakangi munculnya hermeneutika, adalah karena didalam tubuh kitab Bible yang menjadi rujukan orang-orang nashrani, terdapat banyak masalah, yang berkaitan dengan kitab tersebut, mulai dari teks itu sendiri, apakah secara harfiah Bible dikatakan sebagai perkataan tuhan atau perkataan manusia? Siapa penulisnya? Dan awal penulisannya bahasa apa?. Hal inilah yang mendorong masyarakat barat untuk melakukan dekonstruksi teks Bible dengan hermeneutika. Dengan melakukan interpretasi ulang, kemudian dikondisikan dengan perkembangan zaman.

Dalam interpretasi hermeneutika lebih condong, pertama, dalam memakai metodologi hermeneutika, sifatnya mencurigai teks yang akan ditafsirkan. Kedua, hermeneutika memandang bahwa teks sebagai produk budaya (buatan manusia). Ketiga, hermeneutika sangat plural, jadinya kebenaran tafsir sangat relatif.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi lahirnya hermeneutika adalah pemalsuan kitab suci dan monopoli penafsiran gereja. Inilah yang menyebabkan mengapa mereka memilih hermeneutika sebagai metodologi dalam memahami kitab mereka.

Para peneliti dan kristolog, baik dari Islam maupun non Islam menyatakan, “Kitab Bible tidak lagi ditulis  dengan bahasa aslinya, tapi Bible ditulis oleh banyak pengarang dengan versi yang berbeda-beda. Dan perbedaan antara satu dengan yang lain sangat signifikan, bahkan masing-masing mereka berlomba dalam mengurangi dan menambahkan antara satu dengan yang lain”.[3]

Apakah Al Quran Memerlukan Hermeneutika?

Yang menjadi permasalahan disini adalah, apakah Al Quran memerlukan metodologi hermeneutika? Jawabannya tentu saja tidak. Karena umat Islam punya metodologi tersendiri dalam memahami teks  Al Quran. Umat Islam dan jumhur ulama telah sepakat bahwa Al Quran secara lafadz dan makna adalah Kalamullah, firman Allah. Bukan perkataan nabi Muhammad saw., seperti yang yang digembor-gemborkan para orientalis beserta rekan-rekannya. Dan Al Quran akan selalu dibaca dan dibaca sesuai dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa arab. Begitupun Dalam menginterpretasi sebuah teks, hermeneutika menganut sistem relatifisme, bisa jadi benar atau salah. jadi mana mungkin kita sebagai penganut agama Islam meragukan akan keotentikan dan keorisinilan Al Quran, yang sudah terbukti tetap terjaga sejak berabad-abad yang lalu sampai sekarang dan hari akhir.

Sebenarnya kaum muslimin hanya memerlukan tafsir dalam memahami maksud Allah dalam Al Quran, bukan hermeneutika. Karena tafsir sangat berbeda dengan hermeneutika. Kalaulah umat islam masih memerlukan pemahaman yang mendalam, misalnya saja dalam memahami makna mutasyabihat dalam Al Quran, maka perangkat kedua yang dibutuhkan adalah takwil bukan hermeneutika. karena takwil juga berbeda dengan hermeneutika, takwil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri diatas lafadz harfiah Al Quran.

Perbedaan Hermeneutika dan Tafsir

Pertama, Secara etimologi tafsir adalah Al Bayan yaitu menjelaskan[4]. Sebagaimana dalam Al Quran, “ Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik”.[5] Sedangkan secara terminologi tafsir adalah, suatu perangkat ilmu, untuk mengetahui Al Quranulkariim, yang diturunkan kepada nabi Muhammd Saw,  dan menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah dalam Al Quran.[6]

Sedangkan hermeneutika merupakan derivasi dari bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan. Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno, yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewata, yang masih samar-samar kedalam bahasa yang pahami oleh manusia. Sumber-sumber perkamusan menyatakan, istilah hermeneutika dimulai oleh para ahli teologi yahudi dan nashrani, dalam mengkaji secara kritis kitab Bible.

Kedua, Bible kini ditulis dan dibaca oleh penganutnya, tidak menggunakan bahasa aslinya lagi. Bahasa asal Bible, Hebrew untuk perjanjian lama dan Greek untuk perjanjian baru, bahkan Isa sendiri menggunakan dengan bahasa Aramik. Untuk bahasa Hebrew, kini tak seorang pun yang aktif menggunakan bahasa ini, sehingga para teolog Yahudi dan Nashrani menggunakan hermeneutika untuk memahami Bible. Friedrich Schleiermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof, sekaligus sebagai pendiri protestan liberal yang di percaya sebagai pendiri hermeneutika secara umum, menyatakan bahwa diantara tugas hermeneutika adalah untuk memahami teks, “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya”. Maka sangat wajar, bila Bible yang dikarang oleh banyak pengarang menggunakan metodologi hermeneutika untuk mengkaji dan memahami Bible, dengan cara yang lebih baik dari pengarang Bible itu sendiri. Adapun dengan Al Quran, bagaimana mungkin kaum muslimin terpikirkan untuk bisa lebih paham akan maksud dalam Al Quran, melebihi Rasulullah Saw, dan Allah Swt sebagai sumber dari kitab suci.

Ketiga dari segi epistomologis, hermeneutika lahir dan bersumber dari akal semata, olehnya didalam hermeneutika terkandung keraguan dan dugaan, sehingga konsep yang diberikan tentang makna, kandungan, substansi terus menerus akan mengalami perubahan, perbedaan bahkan pertentangan. Adapun dalam tafsir, sumber epistomologi adalah wahyu Al Quran, sehingga tafsir ini sangat terkait dengan apa yang telah disampaikan  dan diterangkan oleh nabi Muhammad saw. Allah berfirman, “Dan kami turunkan Az zikr (Al Quran) kepadamu, agar engkau menerangkan pada manusia, apa yang diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”.[7]

Rasulullah Saw, mengajarkan dan menerangkan Al Quran kepada para sahabat. Jika ada ayat yang tidak dipahami atau ada masih samar, mereka langsung merujuk dan menanyakannya pada nabi, kemudian nabi langsung menjelaskan dan menerangkan apa yang ditanyakan oleh sahabat. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al Quran. Abu Bakar pernah mengatakan, ”Bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan dalam kitab Allah apa yang aku tidak ketahui”.

keempat, dalam Bible, disana terdapat banyak problem yang membuat para penganut agama Kristen meragukannya, misalnya saja ketidakjelasan penulis Bible yang sebenarnya. Sampai-sampai orang barat pernah menuliskan sebuah buku who write the Bible, sehingga mereka membutuhkan sebuah metodologi dan melakukan dekonstruksi histori terhadap Bible. Sedangkan tafsir, tidak mempermasalahkan tentang asal muasal teks Al Quran. Karena Al Quran sudah diyakini dan di imani bahwa ia datangnya dari Allah Swt. Dan penulisan Al Quran sudah dimulai sejak masa Rasulullah.

epilog

Menerapkan konsep hermeneutika dalam Al Quran, bisa mengaburkan makna-makna dalam Al Quran itu sendiri, yang Qat’i bisa jadi Dzanni, muhkam bisa jadi mutasyabihat, yang muthlaq bisa berubah menjadi muqayyad, dan lain sebagainya. Begitu juga konsep hermeneutika yang menganggap teks sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya). Konsep ini sangat bergandengan erat dengan bible, mengingat bible  dalam sejarahnya sangat problematik. Namun merupakan kesalahan yang besar jika hermeneutika dipaksakan dalam memahami Al Quran, karena Al Quran bukan produk budaya, bukan perkataan Rasul, bukan buatan Utsman tapi Al Quran adalah kalamullah. Azza Wa jalla. Wallahu a’lam



[1] Surah Al Isra’ ayat 9

[2] . Drs.  Hafidz Abdurrahman,MA., kebobrokan Tafsir Hermeneutika

[3] . Buku dokumen pemalsuan Al kitab, karya Molyadi Samuel AM. Victorypress, Surabaya 2002

[4] . Manna Al Qatthan, Mabaahits fi ‘ ulumil quran,, Maktabah Wahbah, hal 316

[5] . surah Al furqan ayat 33

[6] . Imam  As Suyuthi fi Al itqan ‘Ulumil Quran,  jilid 2 hal. 74

[7] . Surah An Nahl ayat 44

0 komentar:

Posting Komentar