Nasakh dan Mansukh Dalam Al Quran

Pendahuluan

 

Allah Swt. berfirman, ”Seandainya Al Quran ini datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan didalam (kandungannya) ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak”.[1] Dari dalil diatas menginformasikan kepada kita akan keotentikan Al Quran, dan terpeliharanya dari segala bentuk perubahan, pergantian, pengurangan dan pertentangan. Hal inilah yang menjadi salah satu pembeda antara  kitab-kitab yang lain dengan Al Quran.

 

Al Quran sebagai salah satu mukjizat terbesar bagi nabi, didalamnya begitu banyak mutiara yang senantiasa memancarkan cahanya, siapa saja yang membacanya akan medapatkan ketenangan pada dirinya. Bahkan nilai kandungan dalam Al Quran bagaikan samudera tanpa tepi, maka ketika kita membacanya pertama kali, kita akan medapatkan makna-makna yang berbeda ketika kita membaca kedua kalinya.

 

Sebelum masuk pada pembahasan, perlu digaris bawahi bahwa ulama telah bersepakat tentang tidak adanya kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat  Al Quran, adapun ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai memiliki gejala kontradiksi, mereka (para ulama) telah mengkompromikannya. Dan jalur pengkompromian ini terbagi menjadi dua, disatu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus atau tidak berlaku lagi, dan dipihak lain ada juga yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.[2]

 

Sebagai seorang Azhari sudah seharusnya bagi kita mempelajari dan mengetahui perangkat-perangkat Al Quran yang  akan memudahkan kita dalam memahami dan mengistinbath suatu hukum dalam Al Quran. Sehingga nantinya tidak menjadi persoalan ketika berhadapan dengan ayat yang sepintas terjadi kontradisi. Pada makalah yang singkat ini penulis akan menyampaikan salah satu perangkat yang akan memudahkan kita dalam memahami dengan baik maksud dari informasi yang disampaikan Allah dalam Al Quran, yaitu nasakh dan mansukh. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan defenisi nasakh dan mansukh, urgensi memahaminya, historisnya,  jenis, pembagian dan sebagainya yang mempunyai kaitan  dengan pembahasan ini. Penulis sangat memahami kekurangan dan keterbatasan pada makalah ini, yang masih jauh dari kesempurnaan, olehnya penulis sangat berharap masukan dan kritikan dari peserta diskusi.

 

 

A. Defenisi Nasakh dan Mansukh

 

Secara etimologi nasakh bisa diartikan menghilangkan, misalnya, نسخت السمش الظل artinya, ”Cahaya matahari menghilangkan bayang-bayangnya”. Yaitu menghilangkannya.[3] Nasakh juga bermakna tabdiil ( mengganti), sebagaimana Allah berfirman, “ Dan apabila kami mengganti suatu ayat dengan ayat lain”.[4] kadang bermakna tahwil (memindahkan) seperti harta warisan, yaitu memindahkan harta warisan dari sifulan kefulan. dan nasakh juga bermakna an naqlu (menukilkan) نقل الشىء من مو ضع الى مو ضع  ”menukilkan sesuatu dari tempat ketempat yang lain”.[5] Defenisi ini juga merujuk pada surat Al Jaasiah yang artinya, ”Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”.[6] Maksudnya adalah menyalinnya ke dalam mushaf.[7]

Adapun nasakh menurut terminologi, mempunyai pengertian yang berbeda-beda, diantaranya adalah :

a.       Mengangkat atau menggantikan hukum syar’i dengan dalil syar’i.[8]

b.       Ibnu Katsir juga menuturkan, “Nasakh adalah menghilangkan suatu hukum dengan dalil syar’i yang selanjutnya.

c.       Ibnu Hajib mengatakan, ”Nasakh adalah mengangkat hukum syar’i dengan jalan syar’i yang selanjutnya”.

d.      Menurut Al Farra, “Nasakh menggunakan sebuah ayat, kemudian datang ayat selanjutnya, maka yang digunakan adalah yang kedua dan meninggalkan yang pertama.[9]

 

Adapun mansukh secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan  المرتفع الحكم [10] yaitu “Hukum yang diangkat”. Sedangkan mansukh secara terminology adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.

 

Dari defenisi nasakh dan mansukh diatas, secara eksplisit mensyaratkan beberapa hal.

Pertama, hukum yang di mansukh adalah hukum syara’.

Kedua, dalil yang hukum syara’ juga harus berupa dalil syara’.

Ketiga, terdapat ayat yang sepintas lalu memiliki gejala kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua.[11]

 

Urgensi Mengetahui Nasakh dan Mansukh

 

Mengetahui dan mempelajari nasakh dan mansukh sangat penting bagi kalangan fukaha, mufassiriin, dan talabul’ilmi, kenapa? Karena tanpa mengetahui nasakh dan mansukh maka akan menimbulkan kerancuan dalam mengistinbath suatu hukum.  Dalam suatu riwayat Ali Karramahullahu wajhahu, melewati seorang Qaadhi (hakim), dan berkata, ”Apakah kamu mengetahui nasakh dan mansukh? Orang itu menjawab,”tidak”. Maka Ali berkata, “Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”.

 

Ibnu Abbas juga pernah berkata tentang urgensi mempelajari nasakh dan mansukh ini. Beliau menafsirkan pada perkataan Allah.ومن يؤت الحكمة فقد أوتى خيرا كثيرا  ialah nasakh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, muqaddam dan muakhhar, haram dan halal.[12]

 

Histori Nasakh dan Mansukh

 

Nasakh dan mansukh hanya terjadi ketika nabi Muhammad saw masih hidup, karena nasakh tidak terjadi kecuali dengan jalan syariah, dan suatu syariah tidak akan diketahui kecuali dengan wahyu, sedangkan wahyu hanya ada ketika Rasulullah masih hidup, adapun setelah beliau wafat, maka tidak ada lagi nasakh pada suatu hukum.[13]

     Oleh karena itu, seluruh hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nabi, telah tetap dan tidak bias diganti-ganti lagi dengan tambahan dengan hukum-hukum yang lain. Allah berfirman, ”Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucupkan nikmatKu bagimu, dan telah kuridhai islam sebagai agamamu”.[14]

     Dan menjadi kewajiban bagi kita umat islam untuk mengikuti hukum-hukum yang telah dibawa oleh Rasulullah saw, karena nabi adalah pengemban risalah, penutup para nabi, dan tidak ada nabi setelahnya. Sebagaimana firman Allah, ”Muhammad itu bukan bapak dari seseorang diantara kamu, tapi ia adalah utusan Allah, penutup para nabi dan Alah maha mengetahui segala sesuatu”.[15]

 

Cara mengetahui nasakh dan mansukh

 

 Jika terdapat pada syariat dua nash yang kelihatannya bertentangan, maka bisa dilihat dari konsep nasakh dan mansukh, yaitu nash yang pertama adalah mansukh  dan nash yang terakhir adalah nasikh, jadi tidak terjadi lagi pertentangan kedua nash tersebut.

  Setelah kita mengetahui defenisi nasakh dan mansukh, kini timbul pertanyaan, bagaimana cara mengetahui nasakh dan mansukh? Manna’ khalil kattan dalam kitabnya mabahis fi ‘ulumil Quran menerangkan, untuk mengetahui nasakh dan mansukh bisa dilakukan dengan cara:

a.       Ada keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti perkataan nabi, ”Ayat ini dinasakh dengan ayat ini”. atau seperti hadits nabi,

كنت نهيتكم عن زيا رة القبور ألا فزورها  (HR.al hakim)

Hadits tersebut menasakh hadits sebelumnya yang menyatakan rasul melarang untuk ziarah kubur.

b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di nasakh dan ayat yang di mansukh, seperti nasakh puasa asyura dengan puasa ramadhan.

c. Mengetahui dari salah satu nash, mana yang pertama dan mana yang kedua ditinjau dari sejarah.[16]

 

Dr. Wahbah Zuhaili juga menambahkan, untuk mengetahui nasakh dan mansukh bisa dengan cara penukilan rawi dari sahabat, bahwa diantara satu dari dua hukum, ini yang dahulu dan hukum ini yang belakangan, sehingga tidak terjadi ijtihad didalamnya. Misalnya ayat ini turun setelah ayat ini, atau hadits ini,  turun pada perang badar dan hadits yang lain turun pada perang uhud.

 

Jenis-jenis Nasakh dan Mansukh Dalam Al Quran

 

Nasakh di dalam Al Quran terbagi menjadi tiga bagian, yaitu nasakh tilawah beserta hukumnya, nasakh hukum tanpa tilawah,dan  nasakh tilawah tanpa hukum.

1.nasakh hukum dan tilawah (bacaan).

 

Artinya keberadaan dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga kita tidak dapat jumpai lagi dalam Al Quran. Jenis nasakh seperti ini menjadi perdebatan antar ulama, sebab apakah mungkin hal ini terjadi. Namun demikian pada literatur yang ada, pada dasarnya nasakh ini merujuk pada pada hadits riwayat muslim yang menyatakan bahwa,

( كا ن فيما أنزل : عشررضعات معلومات يحرمن, فنسخن بخمس معلومات , فتوفى رسول لله و هن مما يقرأ من القرأن  )

 

Menurut Qadi Abu Bakar, nasakh yang seperti ini tidak dapat diterima,  sebab keberadaan nasakh ini di tentukan dengan khabar ahad, dan khabar ahad mengandung dzanni.

 

2. nasakh hukum tanpa tilawah

 

     Di dalam Al Quran terdapat banyak contoh-contoh seperti ini. Misalnya tentang ayat untuk mendahulukan terlebih dahulu bersedekah, sebelum mengadakan obrolan khusus dengan nabi. Allah berfirman yang artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum melakukan pembicaraan itu”.[17]

Ayat ini di nasakh oleh ayat lain, Allah berfirman, ”Apakah kamu takut akan (menjadi miskin), karena kamu memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaraan dengan rasul? Tetapi jika kamu tidak melakukannya, dan Allah telah memberi ampun kepadamu, maka laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakaat, serta taatlah kepada Allah dan Rasulnya”.[18]                                                                                                                             

 Dapat dilihat bahwa hukum ayat pertama di nasakh dengan hukum ayat kedua, sedangkan tilawahnya tetap.

 

3.menasakh tilawah tanpa hukum

 

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab, keduanya berkata

الشيخ ولشيخة ا ز نيا فا رجمو هما أ لبتة. Adapun ayat ini tidak akan ditemukan didalam mushaf, maupun para lisan Al qurra’, karena hukumnya tetap, tapi yang ternasakh hanya tilawahnya.[19]

 

Pembagian nasakh

 

Nasakh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

 

Pertama, nasakh Al Quran dengan Al Quran. Jumhur sepakat nasakh Al Quran dengan Al Quran  jaaiz (boleh), namun dikalangan ulama ada juga yang tidak membolehkan nasakh Al Quran dengan Al Quran, seperti Abu Muslim Al Isfahani.[20]

Kedua, nasakh Al Quran dengan sunnah, dan ini ada 2 macam :

a.       Nasakh Al Quran dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan hal ini, karena Al Quran mutawatir, dan hadits ahad mengandung dzanni.

b.      Nasakh Al Quran dengan sunnah mutawatir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad, karena Al Quran dan sunnah mutawatir sama-sama wahyu. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya. Tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan”.[21]

Ketiga, nasakh sunnah dengan Al Quran. Jumhur membolehkan hal ini, misalnya menghadap kearah baitul maqdis adalah sunnah dari nabi, dan bukan dari Al Quran, kemudian datang Al Quran menasakh hadits ini. Allah berfirman, “maka hadapkanlah wajahmu kearah masjidil haram”.[22]

Keempat, nasakh sunnah dengan sunnah. Nasakh sunnah dengan sunnah terbagi menjadi 4 bagian,

a.nasakh mutawatir dengan mutawatir,

b.nasakh ahad dengan ahad

c.nasakh ahad dengan mutawatir

d.nasakh mutawatir dengan ahad

 

tiga bagian yang pertama dibolehkan, adapun yang keempat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.[23]

 

Beberapa Pandangan Terhadap Nasakh dan Mansukh

untuk permasalahan ini, ada dua pendapat, ada yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Pertama-tama kita akan melihat pandangan non muslim, dan pendapat  muslimin.

 

Pertama, nasakh menurut yahudi dan nasrani

 

Orang-orang Yahudi dan Nasrani,mereka mengingkari adanya nasakh secara akal, mereka berpandangan syariat tidak akan menghapus syariat, hukum syariat tidak akan dihapus dengan hukum syariat setelahnya. Orang-orang Yahudi beranggapan, bahwa nabi Musa berkata ان شريعة لا تنسخ, akan tetapi hal ini sangat tidak sesuai yang terjadi dilapangan.[24]

 

kedua Nasakh dalam pandangan islam

 

Ulama bersepakat atas bolehnya nasakh secara syariat, dan jaiz secara akal, dalilnya adalah:

 

Dalil  jumhur, bahwa bolehnya nasakh secara akal dengan dalil akal dan naqli :

1.       Secara akal, yaitu hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi atau tidak mustahil bagi Allah, karena hukum-hukum Allah tidak mengandung mudharat bagi hamba-hambaNya, bahkan mengandung mashlahat. Dan syaari’(pembuat syariat) adalah Allah, dan naskh adalah perbuatan Allah, Allah mengerjakan apa yang dikehendakiNya.[25]

 

2.       adapun dalil naqli. Allah berfirman, “Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannnya, tidakkah kamu tahu bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu”.[26] Ayat ini menunjukkan bolehnya nasakh secara syariat[27]

 

3.      dalil yang membolehkan adanya nasakh dalam Al Quran ditinjau dari segi realita. Jumhur berlandaskan atas bolehnya nasakh dalam Al Quran, dengan dalil :

 

1.Ijma’ sahabat dan para salafussalih, bahwa syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, menasakh seluruh syariat-syariat sebelumnya, selain usul aqidah dan akhlak.

 

2.ijma’ para ulama akan ternasakhnya menghadap kebaitul maqdis menuju arah ka’bah, dan ternasakhnya wasiat untuk orang tua dan karib kerabat dengan turunnya ayat tentang mawaris, ternasakhnya puasa asyura dengan puasa ramadhan, ternasakhnya kewajiban mendahulukan sedekah pada orang miskin sebelum melakukan pembicaraan dengan nabi dengan ampunan dan perintah untuk melakukan salat dan menunaikan zakat, Dan sebagainya.

 

Manna Kattan juga menambahkan dalam kitabnya akan bolehnya nasakh secara akal dan syariat, dengan hujjah bahwa perbuatan Allah tidak mengandung cacat atau aib, bahwa Allah memerintahkan pada suatu waktu dan di waktu lain melarangnya, dan Allah yang lebih mengetahui mashlahat hambaNya.

 

Nasakh badal (pengganti) dan gairu badal (tidak berpengganti)

 

Nasakh ada yang badal dan ada yang gairu badal. Nasakh yang badal, terbagi menjadi 3, nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan), nasakh mumatsil (pengganti serupa), dan ada badal atsqal (pengganti yang lebih berat).

 

1.      Nasakh gairu badal, seperti nasakh bersedekah ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi, bisa dilihat pada firman Allah, “ Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul, hendaklah kamu mengeluarkansedekah (kepada orang miskin), sebelum melakukan pembicaraan itu.”[28] Ayat ini dinasakh dengan ayat selanjutnya. Allah berfirman, “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin), karena kamu memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaaraan kepada Rasul ? Tetapi jika  kamu tidak melakukannya dan Allah telah memberi ampun kepadamu maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya[29]

 

Sebagian dari golongan Muktazilah dan Adzahiriah mengingkari hal ini, mereka mengatakan “nasakh tanpa badal tidak boleh secara syar’i, Karena Allah berfirman, “Ayat yang kami batalkan atau yang kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti yang lebih baik atau yang sebanding dengannya”.[30] Dimana ayat yang di mansukh harus digantikan dengan hukum lain, yang lebih baik atau semisalnya.

 

Merespon pernyataan ini, Manna Kattan menuturkan bahwa, jika Allah menasakh  hukum suatu ayat tanpa badal, maka hal ini mengisyaratkan akan banyaknya hikmah yang terkandung didalamnya, dan terkandung maslahat bagi hamba-hambaNya.

 

2.      Nasakh pada badal yang ringan. Misalnya pada firman Allah, “wahai orang-orang yang beriman , telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah  diwajibkan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.[31] Ayat ini  menunjukkan, bahwa larangan bagi umat yang dahulu untuk makan, minum dan jima’, sehingga turunlah ayat,  Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu”.[32]

 

3.      Nasakh pada badal yang serupa. Seperti nasakh menghadap kearah baitul maqdis, kearah ka’bah mukarramah, sebagaimana firman Allah, ”Maka hadapkanlah wajahmu kearah masjidil haram”.[33]

 

4.      Nasakh pada badal yang berat. Seperti firman Allah, ”Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji[34] diantara perempuan-perempuan kamu, hendaklah diantara mereka ada 4 orang saksi diantara kamu yang (menyaksikan). Apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu), dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya”.[35] Ayat ini di nasakh pada firman Allah, ”Pezina perempuan dan pezina laki-laki, derahlahdari masing-masing keduanya 100 kali, dan janganlah rasa belas kasihan pada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum Allah), jika kamu beriman pada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah (pelaksaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman”.[36]

 

Contoh2 nasakh dalam Al Quran

 

Imam As Suyuthi dalam kitanya Al itqan fi ‘ulumil quran, memaparkan dua puluh satu ayat yang didalamnya terdapat nasakh dan mansukh, dibawah ini adalah beberapa contoh ayat, yang didalamnya terdapat nasakh dan mansukh.

 

1.Allah Swt berfirman,”Dan milik Allah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah”.[37] Ayat ini dinasakh oleh ayat lain.”Maka hadapkanlah wajahmu kearah masjidil haram”.[38]

 

2. Allah Swt, berfirman ,”Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu, jika dia meningggalkan harta, berwasiat untuk orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik”.[39] Ayat ini dinasakh oleh ayat tentang mawarits, yang terdapat pada suraat annisa ayat 11

 

3.Allah berfirman,”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram, katakanlah berperang pada bulan itu adalah dosa besar”.[40] Ayat ini dinasakh oleh firman Allah, “Dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya”.[41]

 

4.Allah berfirman, ”Dan orang-orang yang akan mati diantara kamu dan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah membuat wasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah).[42] Ayat ini dinaskah pada ayat, ”Dan orang-orang mati diantara kamu, hendaklah mereka (isteri-isteri) menunggu 4 bulan 10 hari”.[43]

 

5.Allah berfirman, “Jika kamu menyatakan apa yang ada dalam hatimu, atau kamu sembunyikan niscaya Allah memperhitungkannya (perbuatan itu). Bagimu”.[44] Dinasakh oleh ayat setelahnya, ”Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[45]

 

6. Allahberfirman, “Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji, diantara perempuan2-perempuan kamu, hendaklah diantara mereka ada 4 orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka  telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu), dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi ( jalan yang lain) kepadanya”.[46] Ayat ini di nasakh pada ayat yang terdapat pada surah an nur, ”pezina perempuan dan pezina laki-laki derahlah masing-masing dari keduanya 100 kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah”.[47]

 

7.Allah berfirman,” Jika ada 20 orang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh”.[48]

Ayat ini di nasakh oleh ayat setelahnya,”Sekarang Allah telah meringankan kamu, karena dia mengetahui ada kelemahan diantara kamu, maka jika diantara kamu ada 100 orangsabar niscaya mereka dapat mengalahkann 200 (musuh)”.[49]

 

8.Allah berfirman, ”Berangkatlah kamu dengan rasa ringan, maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.[50] Di nasakh oleh firman Allah, ”Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang), atas orang yang lemah, orang yang sakit, “.[51]

 

Hikmah Nasakh dan Mansukh

 

Dari uraian nasakh dan mansukh tentunya kita pahami bahwa didalamnya akan sarat dengan hikmah yang sangat penting. Diantara hikmah-hikmah tersebut adalah :

a.Untuk mashlahat kaum muslimin serta kemudahan dan kebaikan bagi umat.

b.Sebagai bukti bahwa syariat islam adalah syariat yang terakhir, dan nabi muhammad adalah penutup para nabi.

c.Cobaan bagi para mukallaf untuk menjalankan yang telah diperintahkan dan menjauhi semua larangan.

d.Membuktikan bahwa syariat islam adalah syariat yang sempurna.

 

Penutup.

 

Pembahasan nasakh dan mansukh adalah pembahasan yang panjang lebar,  butuh kajian yang mendalam. Karena didalamnya masih banyak persoalan yang diperdebatkan oleh ulama, misalnya ulama terdahulu dan ulama sekarang terkadang masih terdapat perbedaan dalam mendefenisikan kata nasakh, ada yang mengartikannya sebagai pembatalan nash dan ada juga yang menafikannya. Dari sini penulis, berharap agar kita terus dan terus mengkaji khazanah keilmuan Al Quran, sehingga kita menjadi orang yang betul-betul paham akan kandungan Al Quran, dan mudah-mudahan kita tergolong sebagai ahlul quran .Wallahu A’lam.

 

Daftar pustaka

 

1. Al Quran kariim dan terjemahannya.

2. Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi ‘ulumil Quran, Maktabah Wahbah, kairo, cet. 2004.

3. Muhammad Abdul ‘Adzim Az Zarqani, Manahilul Irfan fi ‘ulumil Quran, Maktabah Taufiqiyyah, jilid 2

4. Imam Az Zarkasyi, Al burhan fi ‘ulumil Quran, dar. El hadits. Cet. 2006

5.DR. Muhammad Quraish shihab, membumikan Al Quran, Mizan, cet, 2002.

6. . Abdul Mutaal Muhammad Al Jabaryi, An Nasikh Wal Mansukh Baynal isbat wa naïf, maktabah Wahbah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   



[1]. Q.S. Annisa : 82

[2] .Lihat antara lain Al Fairuzzabadiy dalam Al Qamus Al Muhith, al Halabiy, Mesir, cet. 2 1952, jilid 1, hal. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al Burhan fi ‘Ulum Al Quran, AlHalabiy, Mesir, 1957, cet. 1, jilid 3,  hal. 28.

[3] . Manna’ Khalil Qattan, Mabahits fi ‘ulumil Quran, Maktabah Wahbah, kairo, cet. 2004. Hal. 223.

[4] . Q.S. An Nahl : 101

[5]. Imam Az Zarkasyi, Al burhan fi ‘ulumil Quran, dar. El hadits. Cet. 2006. Hal. 347

[6] . Q.S. Al jaasiah : 29

[7] .Imam Az Zarkasyi, Op. Cit, hal. 224

[8] . Muhammad Abdul ‘Adzim Az Zarqani, Manahilul Irfan fi ‘ulumil Quran, Maktabah Taufiqiyyah, jilid 2, hal. 163

[9] . Abdul Mutaal Muhammad Al Jabaryi, An Nasikh Wal Mansukh Baynal isbat wa naïf, maktabah Wahbah. Hal. 18

[10] . Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 224

[11]. Muhammad ‘Abdul Adzim Az Zarqani,Op. Cit, Hal. 166

[12]. Manna’ Khalil Kattan. Op. Cit,Hal. 226

[13]. DR. Wahbah Zuhaili, Usul fiqh Al islamiy, Dar. Al-Fikr Damsyiq, jilid 2, Hal. 288

[14] . Q.S. Al maidah : 3

[15].  Q.S. Al ahzab : 40

[16] .Manna’ Khalil Kattan. Op.Cit, Hal. 226

[17] . Al mujadilah : 12

[18].  Almujadilah : 13

[19] . Muhammad ‘Abdul Adzim Az Zarqani,Op. Cit, Hal 198

[20] . DR. Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hal. 257

[21] . Q.S. An Najm 3 dan 4

[22] . Q.S. Al Baqarah : 144

[23] . Manna’ Khalil Kattan. Op.Cit, Hal 230

[24] .DR. Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hal. 240

[25]. Ibid 242

[26]. Q.S. Al baqarah : 106

[27] . DR. Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hal. 242

[28] .Q.S. Al mujadilah : 12

[29]. Q.S. Almujadilah: 13

[30] .albaqarah 106

[31].Q.S.  Al baqarah :  183

[32]. Q.S. Al baqarah :  187

[33]. Q.S. Al baqarah  : 144

[34].  Menurut Sebagian mufassir adalah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain, ialah segala pebuatan mesum, seperti : zinaa, homoseks, dan sejenisnya. Menurut pendapat muslim dan mujahid ialah muhasaqah (lesbian)

.[35]. Q.S.  Annisa  : 15

[36] . Q.S. An nur     : 2

[37] . Q.S.Al baqarah : 115

[38]. Q.S. Al baqarah : 144

[39] . Q.S. Al baqarah : 180

[40]. Q.S. Al baqarah : 217

[41]. Q.S. At  taubah : 36

[42]. Q.S. Al baqarah : 240

[43]. Q.S. Al baqarah : 234

[44]. Q.S. Al baqarah : 284

[45]. Q.S. Al baqarah : 286

[46].Q.S.  An nisa : 15

[47]. Q.S. An nur : 2

[48]. Q.S. A lanfal : 25

[49] . Q.S.Al anfal : 66

[50].  Q.S.At taubah : 41

[51]. Q.S. At taubah : 91

 

0 komentar:

Posting Komentar