Jaga Siri’nu

“Jagai siri’nu nak”. Inilah sepatah kata yang dipesankan kakek saya sebelum menginjakkan kaki kemesir. Sebuah kata yang simple, pendek, ringkas tapi sarat dengan arti dan makna. Sebuah kata yang jika diartikan “ jaga malumu nak”, yang maknanya (dimanapun kamu berada, ditanah apapun kamu berpijak, rasa malu dan harga diri  harus kamu pertahankan pada dirimu). Sebuah falsafah Bugis Makassar yang senantiasa kugenggam dengan gigi geraham dan selalu terngiang dalam benakku.

“Malu” ia itulah eksistensi dari pesan ini, inilah sifat yang akan menjadi pengontrol manusia dari sikap yang tidak terpuji. Inilah manifestasi dari sabda nabi yang membolehkan kita untuk berbuat apa saja kalau kita tidak punya rasa malu. Ia adalah sifat mulia bin agung  yang telah dibawa bersamaan dengan lahirnya  manusia kebumi ini, dan inilah sebab yang membuat nabi Adam dan Hawa menutup aurat mereka dengan dedaunan ketika diusir dari syurga.  

Dengan sifat ini akan membawa anak cucu Adam mencapai derajat yang tinggi disi Allah, betapa tidak seseorang yang timbul dalam pikirannya untuk maksiat tiba-tiba mengurungkan niat dan tidak jadi melakukannya,kenapa? karena ia malu kepada Allah tuhan pemilik jagad raya, ia malu melakukan maksiat dan disaksikan langsung penguasa alam semesta. Begitu pula kehidupan akan terasa aman, damai dan tentram jika sifat ini kita pelihara baik-baik dan menjaganya dari polusi maksiat yang akan mengikis dan meredupkan cahaya sifat ini. Cahayanya yang terang akan menerangi setiap langkah manusia dari gelapnya duri-duri dosa.

Namun sebaliknya dampak dan malapetaka besar akan terjadi jika malu ini sudah lenyap pada diri manusia, karena ia adalah pancaran dari cahaya iman, maka seseorang yang kurang rasa malunya akan berbuat seenaknya tanpa melihat baik atau buruknya perbuatan tersebut, tidak usah jauh-jauh kita bisa saksikan pada sekeliling kita, lihatlah bagaimana seorang yang mengaku Azhari bergandengan tangan dengan yang bukan muhrimnya, lihatlah bagaimana seorang penuntut ilmu agama menghambur-hamburkan duitnya sekedar  untuk chat atau download diwarnet, lihatlah bagaimana seorang duta-duta bangsa menghabiskan waktunya hanya untuk menamatkan film musalsal, dan masih banyak lagi contoh-contoh semacam ini yang penulis malu untuk menorehkannya. Itulah malu sebuah kata penuh dengan misteri, yang membuat manusia kadang-kadang  menyadari  dampak dari sifat ini tapi toh ia tetap konsisten dan bergelimang dengan  setumpuk dosa-dosa tanpa malu untuk mengakui dan melakukannya.

Dosa-dosa yang dilakukan, disengaja atau tidak disengaja adalah atsar dari hati yang lemah, dengan takluknya akal oleh nafsu menyebabkan lahirnya maksiat, namun manusia oleh Allah diberikan keistimewaan dari makhluk ciptaan lainnya, yang disebut dengan getaran ilahiah,  getaran inilah yang menjadikan bahan pertimbangan bagi manusia dalam kehidupannya, getararan ini akan muncul ketika manusia dihadapkan kepada perbuatan yang akan menjerumuskan kepada maksiat dan dosa, dan malu adalah cabang dari getaran ilahiah ini.sebagai penutup penulis akan mengajukan pertanyaan kepada anda, mungkinkah malu ini masih bersemayam pada diri anda? ataukah ia sudah lama pergi tak kunjung kembali? Jawabannya, hanya Allah dan kita saja yang tahu.

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar