TAQLID, TALFIQ DAN FATWA

Pendahuluan

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah, tuhan yang tidak pilih kasih dan tak pandang sayang kepada hambanya yang senantiasa bertakwa kepadanya. Shalawat beriring salam kepada junjungan, qudwah kita Rasulullah Saw,beserta isteri-isteri beliau keluarga beliau dan kepada sahabat karib beliau.

Taqlid dan talfiq adalah pembahasan dalam ushul fiqh yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi  ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah didepan pembaca  hanyalah pengantar, agar nantinya kita bisa lebih memperdalam  dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri ini.

 

Pembahasan pertama. Taqlid

A.Pengertian taqlid

Kata taqlid  (تَقْلِيْدٌُ) adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ). Secara bahasa, adalah :

وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة

”Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung”[1]. Adapun menurut istilah taqlid bermakna “mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalilnya”[2]. Asy-syaukani Didalam kitabnya Irsyadul Fuhuul juga menuturkan tentang pengertian taqlid, yaitu, “suatu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah”.

 

B.Hukum taqlid

Hukum-hukum syar’iah diantaranya ada yang bersinggungan dengan aqidah atau ushul, juga ada yang berkaitan dengan furu’ atau cabang. Dalam masalah aqidah seperti ma’rifatullah, tauhid, dalil-dalil bukti kenabian dan rukun islam, adalah sesuatu yang qath’i, menurut jumhur dalam hal ini tidak boleh taqlid, dalilnya ialah :

a)    Kewajiban tafakkur dalam aqidah, sedangkan pada taqlid berarti telah meninggalkan kewajiban ini. Didalam Al Quran telah dijelaskan  tentang hal ini.  Allah SWT, "Sesungguhuya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang…. ada tanda-tanda (kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal. "  [3]

b)    Umat islam telah bersepakat tentang ma’rifatullah, apa yang harus untuk Allah dan apa yang tidak mungkin untuk Allah SWT.

Adapun dalam masalah furu’iyah, ulama juga masih berselisih pendapat, diantaranya :

a)    Pendapat pertama mengatakan tidak harus sama sekali bertaqlid, bahkan mereka mewajibkan setiap mukallaf ( yang dibebani) berijtihad dan mempelajari segala ilmu yang diperlukan  dalam berijtihad. Ini adalah  pendapat sebagian dari madzhab  Syiah Imamiyah Ad-Dzhohiriah dan Mu’tazilah

b)    Taqlid wajib hukumnya.Ini adalah pendapat Al Hasyawiyyah dan At-Ta’limiyah

c)    Ijtihad tidak dilarang, dan taqlid haram bagi mujtahid tapi wajib bagi orang awam. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berlandaskan atas dalil sebagai berikut.

·         Dalil Al Quran yang berbunyi

“Maka tanyakan olehmu orang-orang yang berilmu jika kamu tidak     tahu"[4]

·         Ijma’  para sahabat dan tabi’in. Mereka telah memberikan fatwa kepada orang awam yang bertanya kepada mereka tentang hukum dari suatu kejadian.

·         Dalil akal, bahwa ijtihad adalah kemampuan yang cuma dimiliki oleh segelintir orang, jika berijtihad dibebani oleh setiap orang maka ini sama saja dengan taklifan bima la yuthoq, dan ini tidak diperbolehkan oleh syariat. Sebagaimana Allah berfirman pada surat al baqarah ayat 286, yang artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya”.

 

C.           Pembagian taqlid

Taqlid terbagi menjadi 2 bagian, pertama taklid Mahmud, kedua taklid Madzmum. Yang dimaksud dengan taklid mahmud adalah seseorang taklid karena ia tidak memenuhui syarat-syarat mujtahid. Adapun taqlid madzmum terbagi menjadi 3 macam :

a)   Hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah

b)   Taklid kepada seseoang yang tidak diketahui kepribadiannya.

c)   Taklid kepada seseorang setelah datangnya hujjah atau kebenaran yang bebeda dengan pendapat yang ia anut.[5]

 

Pembahasan kedua. Talfiq

A.   Pengeertian Talfiq

Talfiq adalah mengkombinasikan atau mencampuradukkan antara 2 madzhab dalam satu masalah sehingga menghasilkan satu bentuk hukum atau konsep  tertentu hasil dari  gabungan 2 madzhab tersebut, sedangkan setiap madzhab  tidak berpendapat demikian dalam masalah itu. Misalnya, seseorang yang membasuh sebagian rambutnya ketika wudhu dengan mengikuti pendapatnya imam Syafi’i, kemudian ia bersentuhan dengan perempuan  dan menganggap wudhunya tidak batal karena ia juga mengikuti pendapatnya imam Malik. Imam Syafi’i berpendapat wudhunya telah batal karena ia telah bersentuhan dengan perempuan, dan imam Malik juga berpendapat bahwa wudhunya batal karena ia tidak membasuh seluruh kepalanya[6]

 

B.   Hukum talfiq

Sebagian ulama melarang talfiq, karena hal ini sama saja dengan membuat pendapat ketiga saat ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah. Didalam kitab Ushul  iqh Al Islamy dijelaskan tentang bantahan yang melarang talfiq secara mutlak, yaitu :

§  Talfiq belum diketahui oleh para salaf, belum ada pada zaman nabi dan para sahabat, begitu pula para imam 4 dan selainnya dari para mujtahid, belum pernah kita dengar diantara mereka yang tidak melarang beramal dengan madzhab yang lain.

§  Ulama menetapkan tidak wajib seseorang iltizam terhadap madzhab tertentu, sehingga orang yang tidak mengikuti madzhab tertentu boleh baginya talfiq.

 

C. Talfiq yang dilarang

Tidak semua talfik itu boleh secara mutlak, Talfiq yang dilarang ada 2 macam :

1) Bathil Lidzatihi, talfiq yang mengarah kepada yang haram seperti khamr, zina dan sebagainya.

2) mahdzurun La Lidzatihi, terbagi menjadi beberapa macam :

·         Mengambil atau mengikuti pendapat-pendapat yang mudah dari setiap madzhab, tanpa ada udzur tertentu.

·         Talfiq yang mengharuskan kembali kepada perbuatan taqlid[7]

 

Pembahasan ketiga. Fatwa

A. pengertian Fatwa

Fatwa adalah mengkhabarkan atau menginformasikan terhadap hukum Allah dengan hujjah bagi siapa saja yang bertanya[8]

B. Hukum fatwa

Siapa yang mengetahui sebuah hukum, kemudian dia ditanya tentang hal tersebut, maka wajib baginya menjelaskan, sebagaimana firman Allah, “Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) “hendaklah kamu benar-benar menerangkannya ( isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.”( QS. Al imran : 187)

Rasulullah juga memperkuat dalam sabdanya “Siapa yang ditanya tentang sesuatu hal, kemudian ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang oleh Allah pada hari pembalasan dengan kekangan dari neraka”.[9]

C Syarat-syarat fatwa.

a)    Adil, sebab ia adalah orang yang memberi informasi, dan informasi dari orang fasik tidak diterima

b)    Tidak sah fatwanya orang yang lalai, karena ia akan menyembunyikan hal-hal yang ia ketahui

c)    Seorang mufti dalam menginformasikan fatwanya harus dengan niat yang ikhlas.[10]

Para ulama banyak membuat syarat-syarat bagi seorang mufti, seperti berakal, bebas ( bukan budak), baligh dll. Dalam kitab Ushul  fiqh Al islamy, Prof.Dr. Wahbah Zuhaili memaparkan ada 3 poin mengenai syarat seorang mufti, yaitu :

1.    Kehidupan bagi seorang mufti

Ulama berselisih pendapat bolehnya taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia, diantaranya :

a)    Boleh taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Imam Syafi’i berkata “ madzhab-madzhab tidak akan mati dengan kematian imammnya”

b)    tidak boleh taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia, ini adalah pendapat Ar- Razi dan sebagian golongan Syiah

2.    keilmuan bagi seorang mufti

Jika dalam suatu daerah banyak terdapat mufti, kemanakah seorang muqallid menanyakan dan meminta fatwa ? Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat, yaitu :

a)    Wajib bagi seorang awam meminta fatwa kepada seorang yang lebih tinggi ilmunya dan wara’. Pendapat ini dipelopori oleh imam Ahmad, Ibnu Suraij, Al Qaffal dari madzhab Syaf’ii, abu Ishak Al isfiroyiny, abu Hasan At habari,

b)    Orang awam bisa memilih atau meminta fatwa  kepada siapa saja yang ia inginkan.

3.     ‘Adalah bagi mufti

‘ Adalah adalah Penjelasan atau keterangan dalam tawassut (pertengahan) dalam suatu hal tanpa melampaui batas dengan menambah-nambahkan atau dengan mengurangi.[11]

Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam syarat ‘adalah mufti, yaitu :

a)    mengikuti suatu perkataan berdasarkan atas dalil,

b)    mengutamakan hal-hal yang telah disepakati dari yang belum disepakati.

c)    Tidak mengikuti keinginan manusia, tapi ia harus mengikuti mashlahah dan dalil.

 

Penutup.

Inilah sekelumit pembahasan mengenai taqlid, tafiq dan fatwa, mudah-mudahan bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca, kritikan dan saran sangat diharapkan.wassalam.

 

 

 

           

 

 

 

 

 



[1] Al-ushul min ilmil uhul oleh ibn utsaimin. Hal 49

[2] Prof.dr.wahbah Zuhaili, ushul fiqh islamy, vol, 1,dar el-fikr, damaskus,2006, hal,401

[3] Al-Qur’an.QS Albaqarah : 164

[4] QS. An nahl : 46

[5] PROF.Dr. wahbah zuhaili, op cit, hal. 410

[6] Ibid, hal 421

 

[7] Ibid, hal. 427

[8] Dr. Muhammad sulaiman Abdullah Al Asykar, Al wadhih fi ushul fiqh lil mubtadiin, dar el-salam, kairo

[9] Ibid, hal. 277

[10] Ibid, hal. 279

[11]  Ibid, hal. 444

0 komentar:

Posting Komentar