Jaga Siri’nu

“Jagai siri’nu nak”. Inilah sepatah kata yang dipesankan kakek saya sebelum menginjakkan kaki kemesir. Sebuah kata yang simple, pendek, ringkas tapi sarat dengan arti dan makna. Sebuah kata yang jika diartikan “ jaga malumu nak”, yang maknanya (dimanapun kamu berada, ditanah apapun kamu berpijak, rasa malu dan harga diri  harus kamu pertahankan pada dirimu). Sebuah falsafah Bugis Makassar yang senantiasa kugenggam dengan gigi geraham dan selalu terngiang dalam benakku.

“Malu” ia itulah eksistensi dari pesan ini, inilah sifat yang akan menjadi pengontrol manusia dari sikap yang tidak terpuji. Inilah manifestasi dari sabda nabi yang membolehkan kita untuk berbuat apa saja kalau kita tidak punya rasa malu. Ia adalah sifat mulia bin agung  yang telah dibawa bersamaan dengan lahirnya  manusia kebumi ini, dan inilah sebab yang membuat nabi Adam dan Hawa menutup aurat mereka dengan dedaunan ketika diusir dari syurga.  

Dengan sifat ini akan membawa anak cucu Adam mencapai derajat yang tinggi disi Allah, betapa tidak seseorang yang timbul dalam pikirannya untuk maksiat tiba-tiba mengurungkan niat dan tidak jadi melakukannya,kenapa? karena ia malu kepada Allah tuhan pemilik jagad raya, ia malu melakukan maksiat dan disaksikan langsung penguasa alam semesta. Begitu pula kehidupan akan terasa aman, damai dan tentram jika sifat ini kita pelihara baik-baik dan menjaganya dari polusi maksiat yang akan mengikis dan meredupkan cahaya sifat ini. Cahayanya yang terang akan menerangi setiap langkah manusia dari gelapnya duri-duri dosa.

Namun sebaliknya dampak dan malapetaka besar akan terjadi jika malu ini sudah lenyap pada diri manusia, karena ia adalah pancaran dari cahaya iman, maka seseorang yang kurang rasa malunya akan berbuat seenaknya tanpa melihat baik atau buruknya perbuatan tersebut, tidak usah jauh-jauh kita bisa saksikan pada sekeliling kita, lihatlah bagaimana seorang yang mengaku Azhari bergandengan tangan dengan yang bukan muhrimnya, lihatlah bagaimana seorang penuntut ilmu agama menghambur-hamburkan duitnya sekedar  untuk chat atau download diwarnet, lihatlah bagaimana seorang duta-duta bangsa menghabiskan waktunya hanya untuk menamatkan film musalsal, dan masih banyak lagi contoh-contoh semacam ini yang penulis malu untuk menorehkannya. Itulah malu sebuah kata penuh dengan misteri, yang membuat manusia kadang-kadang  menyadari  dampak dari sifat ini tapi toh ia tetap konsisten dan bergelimang dengan  setumpuk dosa-dosa tanpa malu untuk mengakui dan melakukannya.

Dosa-dosa yang dilakukan, disengaja atau tidak disengaja adalah atsar dari hati yang lemah, dengan takluknya akal oleh nafsu menyebabkan lahirnya maksiat, namun manusia oleh Allah diberikan keistimewaan dari makhluk ciptaan lainnya, yang disebut dengan getaran ilahiah,  getaran inilah yang menjadikan bahan pertimbangan bagi manusia dalam kehidupannya, getararan ini akan muncul ketika manusia dihadapkan kepada perbuatan yang akan menjerumuskan kepada maksiat dan dosa, dan malu adalah cabang dari getaran ilahiah ini.sebagai penutup penulis akan mengajukan pertanyaan kepada anda, mungkinkah malu ini masih bersemayam pada diri anda? ataukah ia sudah lama pergi tak kunjung kembali? Jawabannya, hanya Allah dan kita saja yang tahu.

 

 

 

TAQLID, TALFIQ DAN FATWA

Pendahuluan

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah, tuhan yang tidak pilih kasih dan tak pandang sayang kepada hambanya yang senantiasa bertakwa kepadanya. Shalawat beriring salam kepada junjungan, qudwah kita Rasulullah Saw,beserta isteri-isteri beliau keluarga beliau dan kepada sahabat karib beliau.

Taqlid dan talfiq adalah pembahasan dalam ushul fiqh yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi  ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah didepan pembaca  hanyalah pengantar, agar nantinya kita bisa lebih memperdalam  dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri ini.

 

Pembahasan pertama. Taqlid

A.Pengertian taqlid

Kata taqlid  (تَقْلِيْدٌُ) adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (قَلَّدَ - يُقَلِّدُ). Secara bahasa, adalah :

وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة

”Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung”[1]. Adapun menurut istilah taqlid bermakna “mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalilnya”[2]. Asy-syaukani Didalam kitabnya Irsyadul Fuhuul juga menuturkan tentang pengertian taqlid, yaitu, “suatu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah”.

 

B.Hukum taqlid

Hukum-hukum syar’iah diantaranya ada yang bersinggungan dengan aqidah atau ushul, juga ada yang berkaitan dengan furu’ atau cabang. Dalam masalah aqidah seperti ma’rifatullah, tauhid, dalil-dalil bukti kenabian dan rukun islam, adalah sesuatu yang qath’i, menurut jumhur dalam hal ini tidak boleh taqlid, dalilnya ialah :

a)    Kewajiban tafakkur dalam aqidah, sedangkan pada taqlid berarti telah meninggalkan kewajiban ini. Didalam Al Quran telah dijelaskan  tentang hal ini.  Allah SWT, "Sesungguhuya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang…. ada tanda-tanda (kekuasaan, kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal. "  [3]

b)    Umat islam telah bersepakat tentang ma’rifatullah, apa yang harus untuk Allah dan apa yang tidak mungkin untuk Allah SWT.

Adapun dalam masalah furu’iyah, ulama juga masih berselisih pendapat, diantaranya :

a)    Pendapat pertama mengatakan tidak harus sama sekali bertaqlid, bahkan mereka mewajibkan setiap mukallaf ( yang dibebani) berijtihad dan mempelajari segala ilmu yang diperlukan  dalam berijtihad. Ini adalah  pendapat sebagian dari madzhab  Syiah Imamiyah Ad-Dzhohiriah dan Mu’tazilah

b)    Taqlid wajib hukumnya.Ini adalah pendapat Al Hasyawiyyah dan At-Ta’limiyah

c)    Ijtihad tidak dilarang, dan taqlid haram bagi mujtahid tapi wajib bagi orang awam. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berlandaskan atas dalil sebagai berikut.

·         Dalil Al Quran yang berbunyi

“Maka tanyakan olehmu orang-orang yang berilmu jika kamu tidak     tahu"[4]

·         Ijma’  para sahabat dan tabi’in. Mereka telah memberikan fatwa kepada orang awam yang bertanya kepada mereka tentang hukum dari suatu kejadian.

·         Dalil akal, bahwa ijtihad adalah kemampuan yang cuma dimiliki oleh segelintir orang, jika berijtihad dibebani oleh setiap orang maka ini sama saja dengan taklifan bima la yuthoq, dan ini tidak diperbolehkan oleh syariat. Sebagaimana Allah berfirman pada surat al baqarah ayat 286, yang artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya”.

 

C.           Pembagian taqlid

Taqlid terbagi menjadi 2 bagian, pertama taklid Mahmud, kedua taklid Madzmum. Yang dimaksud dengan taklid mahmud adalah seseorang taklid karena ia tidak memenuhui syarat-syarat mujtahid. Adapun taqlid madzmum terbagi menjadi 3 macam :

a)   Hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah

b)   Taklid kepada seseoang yang tidak diketahui kepribadiannya.

c)   Taklid kepada seseorang setelah datangnya hujjah atau kebenaran yang bebeda dengan pendapat yang ia anut.[5]

 

Pembahasan kedua. Talfiq

A.   Pengeertian Talfiq

Talfiq adalah mengkombinasikan atau mencampuradukkan antara 2 madzhab dalam satu masalah sehingga menghasilkan satu bentuk hukum atau konsep  tertentu hasil dari  gabungan 2 madzhab tersebut, sedangkan setiap madzhab  tidak berpendapat demikian dalam masalah itu. Misalnya, seseorang yang membasuh sebagian rambutnya ketika wudhu dengan mengikuti pendapatnya imam Syafi’i, kemudian ia bersentuhan dengan perempuan  dan menganggap wudhunya tidak batal karena ia juga mengikuti pendapatnya imam Malik. Imam Syafi’i berpendapat wudhunya telah batal karena ia telah bersentuhan dengan perempuan, dan imam Malik juga berpendapat bahwa wudhunya batal karena ia tidak membasuh seluruh kepalanya[6]

 

B.   Hukum talfiq

Sebagian ulama melarang talfiq, karena hal ini sama saja dengan membuat pendapat ketiga saat ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah. Didalam kitab Ushul  iqh Al Islamy dijelaskan tentang bantahan yang melarang talfiq secara mutlak, yaitu :

§  Talfiq belum diketahui oleh para salaf, belum ada pada zaman nabi dan para sahabat, begitu pula para imam 4 dan selainnya dari para mujtahid, belum pernah kita dengar diantara mereka yang tidak melarang beramal dengan madzhab yang lain.

§  Ulama menetapkan tidak wajib seseorang iltizam terhadap madzhab tertentu, sehingga orang yang tidak mengikuti madzhab tertentu boleh baginya talfiq.

 

C. Talfiq yang dilarang

Tidak semua talfik itu boleh secara mutlak, Talfiq yang dilarang ada 2 macam :

1) Bathil Lidzatihi, talfiq yang mengarah kepada yang haram seperti khamr, zina dan sebagainya.

2) mahdzurun La Lidzatihi, terbagi menjadi beberapa macam :

·         Mengambil atau mengikuti pendapat-pendapat yang mudah dari setiap madzhab, tanpa ada udzur tertentu.

·         Talfiq yang mengharuskan kembali kepada perbuatan taqlid[7]

 

Pembahasan ketiga. Fatwa

A. pengertian Fatwa

Fatwa adalah mengkhabarkan atau menginformasikan terhadap hukum Allah dengan hujjah bagi siapa saja yang bertanya[8]

B. Hukum fatwa

Siapa yang mengetahui sebuah hukum, kemudian dia ditanya tentang hal tersebut, maka wajib baginya menjelaskan, sebagaimana firman Allah, “Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) “hendaklah kamu benar-benar menerangkannya ( isi kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.”( QS. Al imran : 187)

Rasulullah juga memperkuat dalam sabdanya “Siapa yang ditanya tentang sesuatu hal, kemudian ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang oleh Allah pada hari pembalasan dengan kekangan dari neraka”.[9]

C Syarat-syarat fatwa.

a)    Adil, sebab ia adalah orang yang memberi informasi, dan informasi dari orang fasik tidak diterima

b)    Tidak sah fatwanya orang yang lalai, karena ia akan menyembunyikan hal-hal yang ia ketahui

c)    Seorang mufti dalam menginformasikan fatwanya harus dengan niat yang ikhlas.[10]

Para ulama banyak membuat syarat-syarat bagi seorang mufti, seperti berakal, bebas ( bukan budak), baligh dll. Dalam kitab Ushul  fiqh Al islamy, Prof.Dr. Wahbah Zuhaili memaparkan ada 3 poin mengenai syarat seorang mufti, yaitu :

1.    Kehidupan bagi seorang mufti

Ulama berselisih pendapat bolehnya taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia, diantaranya :

a)    Boleh taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Imam Syafi’i berkata “ madzhab-madzhab tidak akan mati dengan kematian imammnya”

b)    tidak boleh taqlid kepada seseorang yang telah meninggal dunia, ini adalah pendapat Ar- Razi dan sebagian golongan Syiah

2.    keilmuan bagi seorang mufti

Jika dalam suatu daerah banyak terdapat mufti, kemanakah seorang muqallid menanyakan dan meminta fatwa ? Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat, yaitu :

a)    Wajib bagi seorang awam meminta fatwa kepada seorang yang lebih tinggi ilmunya dan wara’. Pendapat ini dipelopori oleh imam Ahmad, Ibnu Suraij, Al Qaffal dari madzhab Syaf’ii, abu Ishak Al isfiroyiny, abu Hasan At habari,

b)    Orang awam bisa memilih atau meminta fatwa  kepada siapa saja yang ia inginkan.

3.     ‘Adalah bagi mufti

‘ Adalah adalah Penjelasan atau keterangan dalam tawassut (pertengahan) dalam suatu hal tanpa melampaui batas dengan menambah-nambahkan atau dengan mengurangi.[11]

Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam syarat ‘adalah mufti, yaitu :

a)    mengikuti suatu perkataan berdasarkan atas dalil,

b)    mengutamakan hal-hal yang telah disepakati dari yang belum disepakati.

c)    Tidak mengikuti keinginan manusia, tapi ia harus mengikuti mashlahah dan dalil.

 

Penutup.

Inilah sekelumit pembahasan mengenai taqlid, tafiq dan fatwa, mudah-mudahan bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca, kritikan dan saran sangat diharapkan.wassalam.

 

 

 

           

 

 

 

 

 



[1] Al-ushul min ilmil uhul oleh ibn utsaimin. Hal 49

[2] Prof.dr.wahbah Zuhaili, ushul fiqh islamy, vol, 1,dar el-fikr, damaskus,2006, hal,401

[3] Al-Qur’an.QS Albaqarah : 164

[4] QS. An nahl : 46

[5] PROF.Dr. wahbah zuhaili, op cit, hal. 410

[6] Ibid, hal 421

 

[7] Ibid, hal. 427

[8] Dr. Muhammad sulaiman Abdullah Al Asykar, Al wadhih fi ushul fiqh lil mubtadiin, dar el-salam, kairo

[9] Ibid, hal. 277

[10] Ibid, hal. 279

[11]  Ibid, hal. 444

Puasa ditinjau dari segi medis

Kesehatan adalah nikmat yang sangat berharga bagi setiap diri manusia, tanpa kesehatan harta pangkat dan jabatan akan sia-sia. Namun manusia paling sulit baginya untuk menjaga dan mensyukuri nikmat yang satu ini, karena Kesehatan baru terasa sangat berharga jika ia sudah lenyap.

Ini adalah sepenggal kalimat yang sudah tidak asing ditelinga kita, sejak kecil kita sudah disuapin dengan slogan-slogan tentang pentingnya menjaga kesehatan. Kemudian apa hubungannya dengan puasa yang kita jalani sekarang ini? disini kita akan melihat, ibadah puasa yang sedang kita jalani, atsarnya bukan cuma kepentingan ukhrawi saja, tapi puasa juga sangat erat kaitannya dengan kesehatan jasmani. Ternyata puasa yang kita laksanakan bisa mencegah penyakit akibat pola makanan yang berlebihan, karena tanpa adanya pengistirahatan pada perut, bisa mengakibatkan beberapa macam penyakit, seperti kolesterol dan trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis, dan lain-lain.

Adapun puasa jika dilihat dari kesehatan jasmani bisa ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya:

1)    Memberi kesempatan kepada alat pencernaan untuk istirahat, karena bulan-bulan sebelumnya alat pencernaan kita bekerja keras siang dan malam, maka sudah semestinya kita beri waktu untuk memulihkan sel-sel yang rusak dan meningkatkan fungsi organ-organ tubuh.

2)    membersihkan tubuh dari racun dan kotoran (detoksifikasi). Puasa merupakan terapi detoksifikasi yang paling tua. Dengan puasa, berarti membatasi kalori yang masuk dalam tubuh kita, sehingga menghasilkan enzim antioksidan yang dapat membersihkan zat-zat yang bersifat racun dari dalam tubuh. Hal ini telah dibuktikan di Negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika. Di negara maju tersebut terdapat lembaga kedokteran, lembaga terapi tersebut hanya memerintahkan kepada pasiennya untuk berpuasa, disana para pasien di diagnosa tanpa diberi makan dan minum, dan ternyata hasilnya menakjubkan, banyak pasien yang sebelumnya mempunyai penyakit yang gawat bisa sembuh setelah melalui tahapan  dengan berpuasa. Begitu pula Para peneliti dan ahli kedokteran telah menemukan bahwa puasa secara teratur bisa memblokir bakteri dan virus yang bisa mengganggu kestabilan tubuh.

3)     menambah jumlah sel darah putih sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

 

Inilah bukti dari sabda nabi “suumu tasihhu”.(berpuasalah maka kamu akan sehat). Maka Dengan puasa ramadhan, kita akan mendapatkan dua keuntungan besar, pertama pahala dari Allah, kedua, terjaga dari berbagai macam penyakit.wallahu a’lam.

 

 

Budak dalam Perspektif Islam

Muqaddimah

 

Qadhiyah perbudakan dalam Islam adalah qadhiyah yang masih kontroversi. Antara yang kukuh dan tetap mempertahankan, dan sebagian yang menganggap bahwa perbudakan sudah tidak ada dan tidak relevan lagi, dengan argumen Islam telah mencabut segala macam bentuk perbudakan sampai ke akar-akarnya, dan membuka pintu selebar-lebarnya dalam memerdekakan budak.

 

Para ulama salaf dan khalaf, mengabadikan konsep perbudakan ini ke dalam kitab-kitab karangan mereka. Hal ini dianggap sebagai hal yang menarik dan sangat urgen untuk diketahui oleh umat Islam. Melihat umat Islam saat ini yang sebagian besar masih kurang tahu menahu tentang konsep perbudakan dalam Islam. Terkadang kita mencampur adukkan dan menyamaratakan sikap non muslim dan muslim itu sendiri dalam bermuamalah dengan budak. Adalagi yang beranggapan perbudakan itu dipelopori oleh Islam. Persepsi  semacam ini sekuat mungkin kita buang jauh-jauh dari pikiran kita, dan tugas kita adalah mencari tahu bagaimanakah sistem perbudakan dalam Islam yang sebenarnya.

 

Apakah betul perbudakan telah dibumihanguskan oleh Islam? Bagaimanakah sikap dan cara Islam dalam memandang sistem perbudakan? Apakah betul yang dikatakan orientalis bahwa Islam menjadi pelopor dalam menghalalkan free seks dengan bolehnya menggauli budak perempuan? Bagaimanakah cara sebenarnya yang ditempuh Islam dalam memerdekakan budak? Dan beberapa pertanyaan lagi yang menyangkut perbudakan, akan kita bahas dan mendiskusikannya bersama pada kajian eksternal mujaddid di kesempatan ini. Penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari peserta diskusi. Dan semoga dari makalah sederhana ini bisa sedikit menambah wawasan kita tentang konsep perbudakan dalam islam.

 

1. Sejarah perbudakan 

Sebelum agama Islam datang, perbudakan sudah menjadi sistem bagi sebagian negara-negara besar, semisal Romawi, Persia, Babilonia dan Yunani. Bangsa ini telah menerapkan dan memakai sistem perbudakan. Perbudakan sangat terkait dengan sistem perekonomian dan politik yang mereka terapkan. Perbudakan menjadi komodoti negara dengan memperjualbelikan sejumlah budak. Bahkan setiap budak mempunyai taraf harga yang berbeda-beda.

 

Budak dikala itu bagaikan manusia setengah hewan, pekerjaan-pekerjaan berat dan kotor semuanya menjadi pekerjaan budak. Budak menjadi hak paten bagi pemiliknya. Tidak ada norma-norma maupun rasa kemanusiaan yang diberikan kepada budak. Budak menjadi momok mengerikan yang penuh dengan penindasan dan kedzaliman. Bahkan tak jarang ditemukan budak yang disiksa oleh tuannya dengan berbagai macam siksaan, yang berujung pada kematian.

 

Kita mencoba mengambil satu contoh suatu bangsa dalam memperlakukan budak-budak mereka, semisal bangsa Romawi. Para pemimpin dan para pembesar Romawi, mereka mempunyai ribuan budak yang menjadi pelayan dari seluruh keinginan mereka. Penderitaan yang dialami budak-budak mereka, tidak menjadi tanggungan terhadap apa yang mereka lakukan.[1]  

 

Para budak mereka perlakukan dengan bengis. Mereka membelenggu dengan ikatan yang kuat yang tidak mungkin bagi mereka melarikan diri, mereka juga tidak memberikan pada para budak makanan, kecuali sekadarnya saja, jadilah budak itu seperti hewan yang penuh dengan cemoohan.[2]

 

Inilah sedikit gambaran, akan penindasan dan penganiayaan yang dialami oleh para budak, dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa undang-undang Roma memberikan hak mutlak kepada pemilik budak untuk mengurusi budak mereka, tak ada larangan maupun undang-undang yang mengatur hak-hak bagi sang budak. Siksaan cacian dan makian sampai pada pembunuhan tidak menjadi larangan bagi pemilik budak. Pemilik budak melakukan sekehendak hati terhadap budak, jadilah mereka seperti hewan bahkan lebih rendah dari hewan.

 

2. Sebab-Sebab Munculnya Perbudakan

 

Sebelum islam datang, banyak faktor-faktor yang meyebabkan terbukanya jalan menuju perbudakan, inilah yang menjadi sebab munculnya perbudakan dimasa  Roma, Persia, Babilonia dan Yunani.

1.     Nafsu untuk memperbudak, ketika suatu kelompok menang dalam sebuah peperangan.

2.    Karena kemiskinan dan kefakiran, dan tidak adanya kesetiaan terhadap agama.

3.    Munculnya perbudakan karena hukum dari tindak kriminal, seperti mencuri dan membunuh.

4.    Karena mencari pekerjaan dan tempat tinggal.

5.    Karena penyanderaan dan penculikan.

6.    Karena tradisi para raja, pembesar dan kaisar.[3]

 

3. Sikap Islam Terhadap Perbudakan

 

Setelah melihat dan menyaksikan perlakuan kepada budak yang tidak manusiawi, maka hadirlah Islam, mengatur dan membuat aturan-aturan yang menjamin hak-hak dan kehidupan bagi sang budak. Para budak tidak lagi menjadi hinaan dan cemoohan, tapi Islam mengangkat para budak setingkat dengan orang yang merdeka. Islam tidak memandang dengan mata sebelah para budak, bahkan budak mendapatkan posisi dalam masyarakat.

 

Sebelumnya juga sudah disinggung, sebelum Islam datang ada beberapa wasilah yang bisa menjadikan seseorang menjadi budak. Kemudian apa tindakan Islam terhadap wasilah ini? Islam datang untuk mempersempit jalan masuk menuju perbudakan. Dalam artian tidak menghilangkannya secara mutlak sistem perbudakan. Bisa dikatakan bahwa Islam menetapkan dan mengakui adanya perbudakan, namun Islam membatasi jalan-jalan menuju kesana.[4] Islam menutup seluruh jalan untuk masuk kedalam perbudakan, kecuali satu jalan saja, dan itu pun menjadi sebuah alternatif, yaitu memperbudak terhadap tawanan perang.

 

Perang yang didalamnya dibolehkan memperbudak tawanan dalam syariat islam adalah perang yang berlandaskan syariat, dan dalam memperbudak tawanan ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Abdullah Nashih U’lwan, dosen dirasah islamiyah universitas kerajaan Abd. Aziz di Jeddah, menjelaskan, ada beberapa karakter yang masuk kategori dalam perang menurut syariat, yaitu :

 

1.                      Memerangi musuh Islam di jalan Allah. Annisa : 76. Maksudnya adalah perang ini tidak berlandaskan perang dengan syahwat, dan tidak bertujuan untuk menjajah.

2.                     Tidak boleh seorang muslim memerangi kelompok lain, kecuali setelah memberikan peringatan dan memberikannya tiga altenatif. Pertama, apakah dengan mengajaknya memeluk agama islam. Kedua, memerintahkannya membayar jizyah. Dan Jika kedua altenatif ini tidak dipenuhi maka yang ketiga adalah baru mengadakan  perang kepada mereka.

3.                     Bagi muslimin agar mengadakan perdamaian jika pihak musuh menginginkan perjanjian perdamaian, namun dengan syarat tidak adanya kemaslahatan hanya pada pihak musuh, dan kerugian bagi pihak muslim.

 

Inilah beberapa cara yang ditempuh dalam menjadikan  perang sesuai dengan syariat. kemudian, apa yang dilakukan jika tawanan perang sudah ada pada kita? Syekh U’lwan menambahkan, ada  empat cara yang dilakukan terhadap para tawanan. pertama, membebaskannya. kedua, para tawanan ditebus. ketiga, dibunuh. Dan keempat dijadikan budak.[5]  Kesemuanya ini dipegang penuh oleh imam muslimin/khalifah, atau panglima perang. Imam memilih salah satu pilihan,  yang disesuaikan dengan kemashlahatan.

 

4. Muamalah Islam dengan Budak

 

Belum pernah kita dapatkan aturan-aturan kemasyarakatan atau pemerintahan dalam menyikapi budak secara adil dan berperikemanusiaan selain Islam. Sistem pemerintahan Roma dan bangsa yang lainnya telah memperlihatkan akan keganasan dalam memperlakukan budak lebih rendah dari binatang. Olehnya Islam datang untuk memperbaiki metode dalam bermuamalah dengan budak. Disini kita akan coba merumuskan dalam tiga rumusan. pertama, Islam memandang bahwa budak juga manusia yang berhak memperoleh hak dan kemuliaan.

 

Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya. Didalam Al Quran Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang bertakwa”.[6]

 

Kedua, persamaan budak dengan manusia menyangkut hak dan kewajiban. Begitu juga Islam menerapkan persamaan ini tentang ‘uqubat (sangsi), dan hudud (hukum). Sebagaimana rasulullah bersabda, “ Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan balas membunuhnya, dan barang siapa memotong budaknya,[7]  maka kami akan memotongnya juga, dan barangsiapa yang mengebiri budaknya, maka kami akan mengebirinya juga”.(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

 

Dalam persoalan pahala dan nikmat akhirat, Islam tidak mempetak-petakan dan mendiskriminasi golongan tertentu, tapi islam mengggunakan sistem persamaan. Contohnya, Allah akan mempersiapkan bagi hamba-Nya yang taat kepadanya, berupa nikmat surga. Allah berfirman, “…Barang siapa yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki didalamnya   tidak terhingga”. [8]

 

Lafadz ayat ini mengandung keumuman, bagi setiap laki-laki, perempuan, hamba sahaya, orang merdeka, orang fakir, orang kaya dan sebagainya.  

 

Ketiga, Islam memperlakukan budak dengan manusiawi dan mulia. Dalam hal ini islam memiliki metode tersendiri dalam memperlakukan budak secara adil dan manusiawi, yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Misalnya dalam hal,

 

a.    Memberi makanan. Islam sangat menganjurkan bagi pemilik budak untuk berbuat baik dalam memberikan makanan dan pakaian kepada budaknya. Rasulullah bersabda, ”Barang siapa yang memiliki budak, maka berilah makan seperti yang ia makan, dan berilah pakaian seperti yang ia pakai”.

b.    Memanggil dengan panggilan yang tidak merendahkan. Bahkan islam melarang seseorang memanggil dengan panggilan yang merendahkan dengan sebutan ini hamba sahayaku atau ini budakku. Rasulullah bersabda,” Janganlah kamu mengatakan ini adalah budak laki-laki ku, dan ini budak perempuanku, tapi hendaklah kamu mengatakan ini adalah putra putriku”.(HR. Muslim)

Dengan metode seperti ini, secara otomatis akan membuat para budak merasa tenang, karena ia menjadi bagian dari keluarga tuannya.

c.    Larangan menzalimi budak. Islam sangat melarang keras bagi pemilik budak dalam berperilaku keras dan aniaya terhadap budak mereka. Dari Ibn Umar rasululullah saw bersabda, ”Siapa yang menampar, atau memukul budaknya, maka kaffaratnya adalah dengan cara memerdekakannya”.( HR. Muslim)[9]

d.    Anjuran dalam berbuat baik pada budak. Islam juga memerintahkan kepada penganutnya agar berbuat baik kepada  seluruh orang lain, tanpa mengecualikan golongan tertentu, seperti budak. Allah berfirman,…”Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua karib kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membanggakan diri”.[10]

 

Muhammad Qutb  dalam kitab Assyubhat memberikan contoh bagaimana Islam bermuamalah dengan budak. Rasulullah saw, mempersaudarakan sebagian dari budak-budak dengan beberapa pemuka Quraisy, Bilal bin Rabbah dipersaudarakan dengan Khalid bin Ruwaihah Al khatsma’i, Zaid bin Haritsah dengan Hamzah bin Abdul Muthalib, Zaid dipersaudarakan dengan Abu Bakar As Siddiq.[11]

 

Rasulullah saw, memberikan sebuah contoh dalam berbuat baik dengan budak, yaitu dengan mempersaudaran mereka dengan beberapa pembesar Quraisy, nyatalah bahwa islam agama yang tidak menginjak-injak dan menganiaya para budak, tapi islam agama yang mengajarkan, agar selalu memerhatikan para budak. Diriwayatkan dari Ali ra, rasulullah saw, bersabda, ”Bertakwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki”.

 

Inilah sebagian rumusan yang ditawarkan oleh islam semenjak berabad-abad lamanya dalam bermuamalah dengan budak. Sebuah sikap  yang mencerminkan kelembutan dan kasih sayang ajaran-ajarannya. Adakah sistem yang lebih baik dari islam?

 

5. Cara Islam Memerdekakan Budak.

 

Islam semenjak awal telah memerdekakan budak dari dalam sanubari mereka, perlakuan dengan manusiawi yang telah berlangsung berabad silam diperuntukkan bagi para budak, agar mereka merasa hak dan kewajiban mereka setara dengan orang-orang merdeka. Inilah konsep yang Islam berikan. Setelah pembebasan dari dalam, kemudian Islam sungguh-sungguh membebabaskan dari luar. Inilah pembebasan yang sebenarnya.

Selain Islam yang mengupayakan pembebasan para budak, di negara barat juga telah meneriakkan akan kebebasan bagi tiap individu, atau biasa kita kenal dengan istilah HAM.

 

Muhammad Quthb mengatakan, pembebasan perbudakan secara dekrit undang-undang, seperti yang pernah dikeluarkan oleh Abraham Lincoln, tidak akan menghasilkan kebebasan yang sebenar-benarnya, kenapa? Karena dalam kehidupan, mereka masih berada dibawah bayang-bayang perbudakan.

 

Adapun metode islam dalam memerdekakan budak mencakup beberapa hal:

1.     Memerdekakan karena mengharap ridha Allah

Seorang majikan melakukan hal ini, tidak lain untuk mendapatkan rahmat dari Allah swt. Allah menyuguhkan banyak keistimewaan dan pahala yang berlipat, bagi siapa saja yang ingin memerdekakan budaknya. Islam sangat mendorong untuk memerdekakan budak dengan cara ini, walaupun hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Allah berfirman, “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu melepaskan budak”.[12]

dalam Hadis nabi saw, juga banyak menjelaskan keistimewaan dan pahala bagi orang-orang yang membebaskan budaknya. Nabi bersabda, “Siapa saja memerdekakan seorang budak muslim, maka Allah menjanjikan akan membebaskan dengan setiap anggota tubuh budak itu, setiap anggota tubuhnya dari api neraka”. (HR.Abu Daud dan Nasai)

                                                                           

Para sahabat tidak mau ketinggalan dalam pelaksanaan amar ma’ruf ini, Abu Bakar As siddiq menginfakkan sejumlah hartanya untuk membeli budak-budak dari para pembesar Quraisy dan kemudian memerdekakannya.

 

2.    memerdekakan karena kaffarat

Ini adalah wasilah yang sangat penting dalam membebaskan para budak. Di dalam Al Quran banyak sekali kita dapati dalil yang memerintahkan membebaskan budak dengan cara seperti ini, yaitu membebaskan budak karena telah melakukan pelanggarn syariat Islam. Dan sudah pasti dalam realita, tidak sedikit yang membuat pelanggaran.  Artinya dengan cara ini Islam benar-benar ingin membebaskan budak sebanyak-banyaknya. Diantara sarana dalam membebaskan budak dengan cara kaffarat disebutkan dalam Al Quran :

Ø  Membunuh karena tidak bersalah (tidak disengaja). Maka baginya memerdekakan budak dan membayar diyat. Annisa :92.

Ø  Membunuh dari seorang kaum kafir yang berada dalam perjanjian damai dengan mereka. Maka kaffaratnya adalah dengan memerdekakan budak. Annisa 92.

Ø  Orang yang melanggar sumpah, kaffaratnya dengan memerdekakan budak. Al maidah :89.

Ø  Orang yang menzhihar[13] istrinya, kemudian bertaubat, kaffaratnya dengan membebaskan budak. Al mujadalah :3.

Ø  Berhubungan dengan istri di siang hari ketika ramadhan, kaffartnya membesakan budak.

 

3.    Memerdekakan karena mukatabah

Memerdekakan karena keinginan budak sendiri, dengan cara membayar imbalan yang telah disepakati oleh tuan dan budak secara berangsur. Allah berfirman,” …dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang di karuniakan-Nya kepadamu...”.[14]

4.    Memerdekakan budak atas tanggungan daulah/Negara

Ini termasuk sarana optimal dalam memerdekakan budak, karena negara yang turun langsung dan menghandle dalam memerdekakan budak. Islam telah menetapakan bagi negara dana khusus yang diambil dari dana zakat, dana ini disebut dalam Al Quran dengan dana “wafi rriqabi”. Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang  fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hambasahaya, untuk membebaskan orang-orang berutang, untuk jalan Alllah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah maha mengetahui, maha bijaksana”.[15]

 

Sejarah mencatat di zaman khulafaurrasydin, mereka lah (pemerintah) yang langsung mendatangi pasar-pasar yang disana banyak budak yang diperjualbelikan, kemudian mereka membeli para budak tersebut dan membebaskannya.

 

Dalam suatu kesempatan Yahya bin Sa’id berkata, “Aku diutus oleh Umar bin Abdul Aziz untuk memberi sedekah kepada orang-orang di afrika, kemudian aku mengumpulkannya  dan mencari fuqara’, tetapi aku tidak mendapatkan seorang orang fakir dan orang yang berhak mendapatkan sedekah ini, karena Umar bin Abdul Aziz telah mencukupkan mereka, maka saya membeli sejumlah budak dan memerdekakannya”.[16]

5.    Memerdekakan karena  ummu walad”.

Ini juga wasilah dalam membebaskan budak. Ketika seorang perempuan menjadi budak seorang muslim, maka seorang muslim boleh memperlakukan budaknya sama seperti ia memperlakukan seperti isterinya. Jika mereka memperoleh anak dari hubungan mereka, maka dalam syariat hal ini  dianggap sebagai “ummu walad”.Dan majikan tersebut haram menjual budaknya kepada orang lain. Kemudian jika sang majikan ini meninggal dan budaknya belum dimerdekakan, maka secara otomatis budak tersebut menjadi merdeka.

 

Inilah salah satu perbedaan yang mendasar antara sistem perbudakan dalam islam dari sistem-sistem yang lain. Dimana para budak wanita hanya dijadikan pelayan dan pemuas nafsu bagi majikannya, hak-haknya dirampas. Mereka dihinakan, dan diperlakukan seperti hewan. Dengan seenaknya mereka menukar dan memberikan budak mereka pada orang lain. Tapi dalam Islam, hal ini tidak kita temukan dan tidak akan pernah kita temukan. Islam sangat menjaga dan menghormati para perempuan, walaupun status mereka adalah budak. Bagi budak perempuan, pintu-pintu menuju kebebasan sangat terang. Yaitu dengan jalan mukatabah, dan mereka akan bebas secara otomatis ketika majikannya telah meninggal dunia.

6.    Memerdekakan karena berbuat zalim

Sebagian fuqaha’ semisal hanabilah, memasukkan kategori ini, dalam wasilah memerdekakan budak. Sebagaimana Islam sangat menekankan sikap yang lemah lembut kepada para budak. Agar mereka bisa merasakan keberadaan dan status mereka sebagai manusia.

 

Begitu juga rasulullah saw, sangat membenci bagi siapa saja yang berlaku  kasar dan berbuat semena-mena terhadap budaknya. Suatu ketika rasulullah saw, melihat Ibn Mas’ud memukuli budaknya, kemudian rasulullah bersabda, ”Ketahuilah Ibn Mas’ud, Allah swt, telah menguasakan  budak ini kepadamu”. Dalam hadis lain nabi bersabda,” Barang siapa memukul budaknya, bukan karena kesalahan yang ia lakukan, maka kaffaratnya  adalah dengan memerdekannya”.(HR. Muslim).

 

Penutup.

 

Demikianlah sekilas pembahasan tentang perbudakan dalam Islam. Sebuah sistem perbudakan yang sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan.  Islam telah menunjukkan akan kesamaan derajat manusia, tanpa harus membagi-bagi antara kaya dan simiskin antara tua dan muda antara orang merdeka dan budak, karena yang paling mulia disi Allah adalah orang yang bertakwa.



[1] Syekh Abd. Aziz jawisy, Al islamu dinul fitrah wal  hurriyah, darul maarif .hal 88  

[2]Abdullah nashih U’lwan, Nidzamurriq fil islam, Dar el-salam. Hal 13

[3]  Ibid, U’lwan hal 11-12

[4] Foot note Manahilul irfan, sanggahan Syekh Muhammad Abd. Adzim Azzarqani, oleh Hani Al haj hal 341 jilid 2

[5] U’lwan, Op. cit hal. 23

[6] QS. Al hujurat : 13

[7]  Memotong disini maksudnya, memotong sebagian anggota badan, semisal memotong tangan, hidung, telinga.

[8] QS. Al Mu’min : 40

[9] Fiqih sunnah, sayyyd sabiq dar el fath lil I’lam arabiy, jilid 3 hal 430

[10] Annisa 36

[11] U’lwan, op. cit,  37

[12] QS. Al balad 11-13

[13]  Zihar yaitu mengatakan pada istrinya, kalau punggung istrinya sama dengan punggung ibunya.

[14] QS. Annur : 33

[15] QS.  At taubah : 60

[16] U’lwan Ibid, hal 60